Rabu, 14 Januari 2009

Isu ALA-ABAS Politik Aceh Bergeser

Oleh : Dedi Fariadi

Santernya tuntutan terhadap pembentukan dua privinsi baru di Aceh, yakni ALA dan ABAS belakangan ini, sudah dipastikan kedepan perpolitikan di Nanggroe Aceh Darusssalam akan bergeser drastis. Pasalnya banyak orang akan memamfaatkan momen tersebut untuk meluruskan kepentingan politik, seperti apa yang sudah dilakukan beberapa fraksi di DPR-RI. Dukungan untuk mewujudkan dua provinsi baru tersebut mulai diincar berbagai pihak yang punya kepentingan politik, namun sayangnya masyarakat Aceh tidak menyadari akan hal tersebut.

Walaupun dalam undang-undang kebebasan berdemokrasi merupakan salah satu bagian yang diperbolehkan, tetapi apa jadinya kalau kebebasan tersebut telah dimamfaatkan oleh segelintir orang untuk meluruskan kepentingan politiknya. Mungkin akan sangat naïf nasib Aceh kedepan. Sebab di satu pihak keberadaan provinsi tersebut harus diwujudkan, sedangkan di lain pihak, mereka akan mempertahankan dan menggagalkan tuntutan pembentukan dua provinsi baru tersebut dengan berbagai cara, bahkan kekerasan sekalipun mungkin akan dilakukan, walau tidak bisa dipastikan, tetapi suhu perpolitikan di Aceh sekarang mulai mengarah ke sana. Sehingga yang terjadi selanjutnya akan ada dua kubu yang saling mempertahankan prinsip. Padahal kalau kita kaji lebih jauh, hal tersebut merupakan sangat keliru terjadi, di saat Aceh sedang berbenah dan coba menyakinkan berbagai pihak, terutama bangsa Indonesia bahwa perdamaian harus terus berlangsung dan Aceh akan tetap utuh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), seperti apa yang sudah menjadi kesepakatan bersama dalam sebuah pernyataan paling bersejarah yaitu MoU Helsinki.

Sehingga ada harapan sebagaian besar masyarakat Aceh, pemerintah pusat harus benar-benar arif menyikapi segala persoalan politik yang sedang bergejolak, apalagi menjelang perhelaan pemilu 2009. Namun sebaliknya, kalau pemerintah pusat memihak pada salah satu kepentingan, dipastikan politik Aceh akan bergeser tiga ratus enam puluh derajat, bahkan dikhawatirkan akan kembali memicu konflik baru. Mengulang kaji berbagai pengalaman sejak zamannya presiden RI-I, kepercayaan masyarakat Aceh sempat memudar terhadap bangsa ini, karena keistimewaan untuk Aceh yang diharapkan saat itu tidak pernah terwujud sepenuhnya, sehingga menjadi salah satu pemicu konflik yang berkepanjangan, menelan ribuan korban jiwa, dan harta benda di bumi Serambi Mekkah. Pada kenyataan, masyarakat Aceh saat itu tidak pernah menginginkan konflik tersebut terjadi. Namun klaim egoisme politik kepentingan berbagai pihak, Aceh harus melalui masa suram hampir tiga puluh dua tahun lamanya.

Anehnya, setelah masa sulit itu terlewati, MoU Helsinki lahir, dan di tengah Aceh sedang berbenah serta mencoba membangun damai, masalah baru kembali muncul menyebabkan Aceh mulai terpecah dengan berbagai kepentingan. Lagi-lagi banyak masyarakat Aceh mengaklaim itu hanya sebagai permainan politik yang sedang diterapkan di daerah paling barat pulau Sumatera. ALA-ABAS pun mencuat menjadi isu nasional yang perintisnya mencoba menggait berbagai dukungan di DPR, bahkan berbagai pihak yang berkompeten suaranya didengar dalam pemerintahan ikut digiring sebagai pendukung, seperti lakonnya seorang pimpinan partai nasional, Megawati Soekarnoputri. Dalam sebuah diskusi bertajuk kebangsaan dalam rangka memperkuat NKRI bertema "Meneropong Masa Depan Aceh: Pembentukan Poprinsi ALA-ABAS Sebagai Solusi" yang dilaksanakan di DPP PDIP di Lenteng Agung, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu, mantan presiden RI tersebut mengutarakan bahwa dirinya mendukung pemecahan wilayah Aceh menjadi tiga provinsi yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Aceh Leuser Antara, dan Aceh Barat Selatan.

Dia bahkan lantang mengatakan bahwa dirinya sejak dulu sudah mendukung terbentuknya dua provinsi baru di Aceh. Politisi PDIP itupun mengemukakan, bahwa undang-undang memungkinkan itu diwujudkan, hanya saja usul pembentukan provinsi yang mencuat sejak 1999 itu belum terealisasi, karena terlalu dipolitisasi, katanya.

Bahkan untuk merekomendasikan usulan pembentukan Propinsi ALA dan ABAS terjadi tarik-menarik kepentingan di Komisi II DPR. Walaupun akhirnya surat rekomendasi itu bisa disampaikan kepada Ketua DPR RI Agung Laksono. Kini delapan dari 10 fraksi di DPR sudah memberi dukungan pembentukan ALA dan ABAS. Bahkan
Agung Laksono 16 Juni lalu sudah mengirim surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengenai 17 RUU tentang Pembentukan kabupaten/kota/propinsi baru di Indoensia. Dari 17 daerah pemekaran baru yang akan dibahas, lima di antaranya propinsi baru, yaitu Propinsi kalimantan Utara, Papua Tengah, Sulawesi Timur, ALA dan ABAS.
Agung berharap ke-17 RUU yang telah diajukan ke pemerintah dapat segera dibicarakan dengan DPR. Dalam kaitan ini, Presiden diharapkan pula menunjukkan menteri yang akan mewakilinya dalam rapat-rapat di DPR.

Sebaliknya banyak masyarakat Aceh hari ini menanggapi bahwa persoalan tersebut merupakan isu krursial yang harus dicari pemecahan dan solusi, agar tidak menjadi masalah yang dapat memicu konflik baru. Karena bertolak belakang dengan pernyataan Megawati, Wakil Gubernur NAD, Muhammad Nazar, pernah mengutarakan dalam sebuah wawancara media, bahwa kalau dua provinsi tersebut diwujudkan pemerintah pusat, maka dirinya akan mengundurkan diri dari kepala pemerintahan NAD. Mungkin itu dapat dijadikan telaah berfikir, bagi elit politik agar tidak terjadi konflik baru di Aceh. Sebab di satu sisi ada pihak menginginkan provinsi Aceh tetap utuh, itu akan diperjuangkan dengan berbagai cara untuk mewujudkannya, tetapi di lain pihak ada yang harapan Aceh pecah dan lahir dua provinsi baru di dalamnya.

Sehingga cara-cara yang diperankan untuk mewujudkan keinginan kedua belah pihak inipun akan selalu bertolak belakang, bahkan dikhawatirkan akan menimbulkan gejolak politik baru paska adanya damai di Aceh. Sedangkan banyak masyarakat Aceh lainnya yang berada pada posisi netral akan mencari berbagai pelindungan untuk melindungi dirinya, agar tidak terjebak dengan perang politik yang sedang dimainkan kedua belah pihak tersebut. Namun kerap kali mereka harus menjadi korban akibat keserakahan dan berbagai kepentingan para pelaku politik. Kekhawatiran banyak masyarakat Aceh hari ini dengan mencuatnya ALA-ABAS adalah terjadinya pergeseran system perpolitikan di Aceh, karena bisa saja cara-cara lama akan diadopsi kembali untuk meluruskan keinginan berbagai pihak yang berkompeten terhadap Aceh. Sedangkan elit politik lainnya akan memamfaatkan momen tersebut sebagai senjata untuk meloloskan kepentingan politik memasuki Pemilu 2009 mendatang, itu harus diwaspadai bersama.

Untuk itu, banyak masyarakat Aceh hari ini menginginkan pemerintah pusat dapat melihat berbagai polimik dan masalah tentang Aceh dengan arif dan bijak. Apalagi Aceh baru saja keluar dari konflik, musibah tsunami, dan sekarang sedang berbenah dalam alam perdamaian yang tercipta melalui suatu itikad baik pihak Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Republik Indonesia. Namun yang menjadi pertanyakan apakah kondisi hari ini harus berakhir?, jawabnya ada pada diri kita, mereka, elit politik, dan semua yang punya kepentingan dengan Aceh. Untuk itu, sebagai penutup yang harus digarisbawahi bersama dalam menyonsong masa depan Aceh yang lebih baik, adalah pemerataan pembangunan harus lebih digalakkan, agar tidak timbul kesenjangan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Dengan harapan semoga damai tetap berlanjut di Aceh.

Sabtu, 13 September 2008

Melas Iba Wajah Pengemis di SPBU

Siang itu SPBU, di sudut Kota Lhokseuamawe, di Simpang Kuta Blang Lhokseumawe, ramai antrian kendaraan yang menunggu giliran mengisi bahan bakar minyak (BBM). Para pengendara kendaraanpun terlihat berjejer, tak ubahnya lekuk gerbong kereta api yang memanjang mengerumuni petugas pom bensin yang meniriskan bensin kepada satu, dua kendaraan yang datang menghampirinya. Petugas SPBU memang tidak terlalu sulit dalam melayani konsumen, karena angka digital di mesin pengisi bensin itu tak pernah salah memainkan nilai nominlanya, hanya saja kadang kenakalan dilakukan petugas, hanya untuk meraup keuntungan lebih. Mereka sering tidak mengembalikan angka tersebut, pada nominal terkecilnya, angka nol, seperti banyak keluhan konsumen terhadap sejumlah SPBU nakal.

Di sudut yang lain, ada pemandangan unik yang selalu kita temui setiap memasuki tempat pengisian bahan bakar kendaraan tersebut, mungkin akan menjadi deskripsi yang sangat aneh, kalau kita lukis dalam wajah Kota Lhokseumawe yang terkenal dengan Kota Petro Dollar dengan sejuta gemerlap kotanya. Hari itu, Sabtu (6/9), sepenggalan matahari belum menampakkan sinarnya, suasana SPBU yang terletak di tengah persimpangan Kota Lhokseumawe itupun masih terlihat sepi, karena masih minim aktivitas masyarakat pagi itu. Sementara dengan langkah tertatih-tatih seorang wanita paruh baya, memakai sarung yang mulai usang dimakan usia, selembar selendang menutupi ubannya yang sudah memenuhi kepalanya, terlihat melangkah memasuki SPBU dan mulai menggelar lapak mengunmpulkan rupiah dari belas kasihan orang yang mampir kesana.

Wajahnya terlihat memelas, tangannya menjulur, pertanda dia minta belas kasihan kepada sitiap orang yang datang mengisi BBM. Wanita itu mengaku Zainabon, warga Simpang Kandang, Lhokseumawe, dia juga tidak tahu pasti berapa umurnya sekarang, namun uban yang membalut kepalanya itu menandakan usianya di atas empat puluh tahun. Dia merupakan salah seorang pengemis dari sekian banyak pengemis yang selalu mangkal di sana, di SPBU Simpang Kuta Blang Lhokseumawe. Setiap hari rekan-rekan seprofesinya selalu ngepos di sana sampai menjelang azan magrip, bahkan ada dari mereka yang menggelar lapak sampai SPBU tutup.

Walau penghasilannya pas-pasan, hanya Rp20 sampai Rp30 ribu perharinya, walau terkadang rasa malu menghinggapi pikirannya, namun Zainabon terpaksa melakukan untuk membiayai keluarga dan biaya untuk berobat.

Lon teupaksa mita seudeukah, karena lon perele peng keu pajoh siuro-uro, lakoe lon han ek lee mita rezeki, lon pih peurele peng untuk meuubat ( saya terpaksa mengemis, karena saya perlu uang untuk makan sehari-hari, suami saya tidak sanggup lagi cari rezeki, saya juga perlu uang untuk berobat), kata Zainabon.

Potrek pengemis yang memadati SPBU bukan hanya terlihat di Lhokseumawe, karena di beberapa tempat lainnya di Aceh juga kita jumpai pemandangan yang sama. Diakui atau tidak keberadaan mereka turut memperburuk wajah Kota Lhokseumawe dan Aceh pada umumnya. Sebab, setiap hari keberadaan mereka kian bertambah dan sekarang sudah pada tahap meresahkan, sehingga disinyalir ada pihak yang mengkoordinir, terutama pengemis anak-anak, seperti kata seorang Warga Kuta Blang Muntazar, yang kebetulan mampir ke SPBU.

Untuk itu, pemerintah harus segara melakukan pendataan dan desentralisasi terhadap mereka, agar orang tidak memandang sinis terhadap Aceh dan Lhokseumawe nantinya.

Zainabon sebenarnya juga tidak ingin menggeluti profesinya sekarang, namun itu merupakan keterpaksaan yang harus dilakukan sebagai rutinitasnya sehari-hari, karena konflik telah merenggut segalanya. Sekarang tidak ada lagi lahan baginya untuk menggarap rupiah, kecuali hanya mengharap iba orang lain. “Saya sebanarnya malu melakukan pekerjaan ini, tetapi apa boleh buat saya tidak ada lahan lain untuk mencari uang, kecuali hanya meminta iba orang, ”katanya.

Drs. Murtadha, Kasi Penyandang Masalah Kesejahtraan Sosial Anak Korban Narkotika dan Eks Narapidana, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Bina Sosial, Aceh Utara, mengatakan saban hari jumlah pengemis terus meningkat, sehingga pihaknya akan melakukan pendataan dan desentralisasi keberadaanya untuk selanjutnya akan diberikan pembinaan.

Sementara Zainabon, mengaku tidak memperdulikan apapun yang dilakukan pemerintah, karena selama ini pemerintah tidak pernah memperdulikan keberadaannya, bahkan beberapa kali dirinya mengajukan bantuan modal usaha tidak pernah digubris dengan birokrasi yang terlalu berbelit. “Saya akan terus berdiri di sini (SPBU-red), sebab saya butuh makan dan biaya berobat di kala sakit, ”imbuhnya. [dedi fariadi]

Nursiah Enggan Bicara Konflik

Nursiah, duduk termenung di teras rumahnya, di Desa Lhokseuntang, Lhoksukon Aceh Utara. Dia tak suka bicara konflik. Konflik telah membuatnya kehilangan segalanya. Rumah, harta, dan orang yang paling dicintainya pun jadi korban. Fitnah orang yang membenci Ayahnya, menyebabkan dia kehilangan pusara orang yang amat dicintainya itu.

“Tidak menarik sama sekali mendengar bahasa konflik, sebab yang ada akan mengingatkan kepada luka lama saya,”katanya.

Gadis yang baru saja beranjak 18 tahun ini, lebih memilih mendengarkan musik, atau membantu ibunya di sawah, ketimbang berbicara konflik dan politik. “konflik tidak akan jauh dari politik, begitu juga sebaliknya,”katanya lagi sembari merenggangkan pinggangnya, lelah setelah seharian bergumul dengan lumpur di sawah, tidak jauh dari rumahnya itu.

Dia juga tak percaya politikus, sebab mereka hanya bisa mengumbar janji, namun kenyataannya tidak pernah ada. “Yang bisa dipercaya hanya orang tua dan guru, ”melasnya lagi.

Nursiah tinggal bersama orang tuanya, dipedalaman Lhoksukon, daerah Bukit Hagu, Kabupaten Aceh Utara. Dulu, daerah ini merupakan daerah merah, klaim serdadu saat itu. Sebelum perjanjian Helsinki, tiga tahun silam, kontak senjata antara Gerakan Aceh Merdeka dengan TNI, kerap kali terjadi di sana. Itu cerita lama, namun baru baginya.

Sebab jauh sebelum pecahnya perlawanan GAM di Aceh, ayahnya telah dahulu menjadi korban dari keganasan konflik. 1990, ayahnya difitnah, sekelompok orang datang kerumah reot itu dan membawanya pergi. Saat itu, usia Nursiah baru berumur 12 hari, setelah dilahirkan bunda tercintanya, Aminah. Dia tidak tahu apa-apa tentang konflik, walaupun secara ikatan batiniah anak dan orang tua tetap saja akan berbicara.

Namun, kini usia Nursiah, bukan lagi seorang anak kecil yang polos, tetapi sosok gadis remaja yang kekar dalam menggantikan posisi sang Ayah, mengatur kebutuhan rumah tangga. Semua harapan dan impiannya pun punah. Pendidikan, tidak pernah terbayang lagi dibenaknya, apalagi hidup bergelimpangan harta. Mampu menamatkan sekolah dasar saja sudah luar biasa baginya. Kalaupun ada kakaknya, belum juga memberinya harapan, sebab nasibnya tidak jauh beda dengan dirinya. Dalih meringankan beban keluarga, kakak satu-satunya pun terpaksa minggat dan tinggal di tempat orang, menjadi pembantu rumah tangga di Lhoksukon, jarang dia pulang kerumah.

Kendati keharmonisan hubungan masih tetap terjaga. “Kakak tinggal di tempat orang kaya di Lhoksukon, kalau dia rindu kami, sesekali dia pulang,”melasnya lagi.

Hal itu juga yang membuat Nursiah, semakin bingung. Sepeninggal Ayahnya, dia harus menggantikan posisi orang yang amat dicintainya itu. Tidak ada harta, tidak ada lahan baginya untuk berusaha, kecuali hanya mencoba mengadu nasib pada orang yang membutuhkan tenaga dan jasanya saat musim tanam dan panen padi di sawah. Lumayan, walau tidak besar pendapatan, namun cukup untuk bertahan hidup sehari-hari, katanya.

Berharap dana bantuan korban konflik pun, selalu membuatnya sakit hati. Jatah tiga juta, yang sampai ketangannya hanya Rp1,5 Juta atau lebih sedikit, setengahnya hilang entah kemana. Hal itu terjadi rutin tiap tahunnya, saat dia akan mengambil uang bantuan pemerintah tersebut. Namun, Nursiah dan ibunya tetap pasrah. Dia sadar, kalau hidup dari keluarga miskin harus rela menjadi sandaran atas permainan orang pintar dan berkuasa.

Bukan hanya di situ derita Gadis miskin ini, Ibunya Aminah, yang seharusnya mendapat kucuran dana bantuan pemerintah berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT), juga luput dari pendataan. Lagi-lagi membuatnya harus mengantungkan impian. Mungkin hanya satu cara, beban keluarga dapat terasi yakni dengan terus bekerja keras. “Allhamdulillah kami masih punya rumah kaum duhafa, bantuan pemerintah Aceh Utara, 1990-an silam, walaupun sekarang mulai dimakan rayap, namun setidaknya dapat melindungi kami saat hujan dan terik matahari. Saat kami kelelahan sehabis pulang dari sawah, setidaknya ada tempat buat rebahan. Apalagi kondisi ibu saya yang semakin tua, ”katanya.

Nursiah, tidak akan beranjak dari sana, dia setia menemani ibunya yang sudah lanjut usia itu. Dia juga mengaku lelah dengan janji pemerintah, yang berulang kali berniat akan membantunya, tetapi tidak pernah terwujud. Sekarang Nursiah, hanya berharap, konflik tidak lagi terjadi di Aceh. Stop bicara konflik, jangan lagi jadikan Aceh sebagai tempat untuk meraup keuntungan di atas penderitaan masyarakat kecil. Stop berbicara kepentingan politik dengan Aceh, karena itu telah membuatnya menderita dan kehilangan sosok sang ayah.[dedi fariadi]

Senin, 19 Mei 2008

BIODIESEL SELAMATKAN LINGKUNGAN HIDUP

Mensikapi kenaikan penggunaan sarana transportasi yang tak dapat dihindari akhir-akhir ini, terutama sekali disebabkan oleh pertumbuhan penduduk yang begitu pesat sehingga dengan sendirinya kebutuhan alat angkut pun mengalami kenaikan yang signifikan. Hal itu dapat difahami dengan mudah bahwa manusia dalam melaksanakan aktivitas hidupnya sehari-hari memerlukan sarana transportasi untuk memobilisasi dirinya. Begitu juga dengan barang atau benda, perlu dilakukan mobilisasi dari daerah produksi ke daerah konsumen. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa peningkatan kebutuhan sarana transportasi selalu berbanding lurus dengan peningkatan jumlah penduduk.

Pada sisi lain, kenaikan penggunaan sarana transportasi akan mengakibatkan peningkatan pemakaian bahan bakar (fuel). Sebagaimana kita ketahui bahwa akhir-akhir ini masalah bahan bakar sudah menjadi isu yang sangat sensitif pada tingkat nasional, regional maupun internasional. Pemicu utama karena harga minyak mentah pada pangsa pasar internasional meningkat secara drastis sehingga membuat banyak negara-negara konsumen perlu melakukan langkah-langkah untuk menaikkan harga jual bahan bakar dalam negeri. Disamping itu, faktor ketersediaan (resource) minyak bumi yang semakin hari semakin langka juga merupakan isu tersendiri yang sedang hangat dibahas pada tingkat global terutama oleh negara-negara maju yang tidak ingin selamanya tergantung pada bahan bakar yang bersumberkan minyak bumi. Hal itu ditandai dengan adanya berbagai upaya yang dilakukan oleh para saintis dalam mencari bahan bakar pengganti (fuel alternative). Namun, ada satu faktor lain yang sering kali kita abaikan yaitu faktor lingkungan. Dimana lingkungan sering kali menjadi objek penderita terhadap dampak dari aktivitas yang dilakukan oleh makhluk yang bernama manusia di muka bumi ini.

Berkenaan dengan isu di atas, beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, Jerman, Perancis, Inggris, Spanyol, Jepang, dan Korea Selatan sedang gencar-gencarnya melakukan upaya untuk memproduksi bahan bakar dari sumber-sumber yang dapat diperbaharui (renewable resources) untuk menggantikan bahan bakar yang bersumberkan minyak bumi. Bahan bakar ini dikenal dengan nama biodiesel. Tujuan utama memproduksi biodiesel adalah untuk mengantisipasi kelangkaan (depletion) sumber bahan baku bahan bakar diesel petroleum di masa depan. Disamping itu, faktor kerusakan lingkungan hidup yang semakin memprihatinkan juga merupakan salah satu alasan yang tak dapat dinapikan dalam upaya memproduksi bahan bakar yang dapat diperbaharui tersebut.

Dari aspek lingkungan, bahan bakar biodiesel lebih unggul dibandingkan bahan bakar diesel petroleum antara lain: biodiesel dapat dibakar secara sempurna (completely combustion), ramah lingkungan (environmentally friendly), tidak beracun (non toxic), tidak berisiko terhadap kesehatan (no health risk to humans), dapat diperbaharui (renewable), mudah didapat (readily available), serta gas hasil pembakarannya dapat di-recycle melalui proses fotosintesis. Sebagai bahan bakar yang dapat diperbaharui, biodiesel dapat dihasilkan dari sumber-sumber minyak nabati (vegetable oils) antara lain seperti: minyak jarak (jatropha oil), minyak kelapa sawit (palm oil), minyak kedelai (soybean oil), minyak biji kapok (cottonseed oil), minyak biji bunga matahari (sunflower seed oil), minyak rapeseed (rapeseed oil), dan minyak nabati lainnya serta dari lemak hewani (animal fats).

Hasil riset dari berbagai kalangan menunjukkan bahwa kerusakan atmosfir bumi yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan oleh akumulasi gas karbon dioksida (CO2), gas Freon atau Chloro Flouro Carbon (CFC) serta gas berbahaya lainnya pada lapisan atmosfir bumi yang semakin hari semakin meningkat. Gas karbon dioksida disumbangkan oleh hasil pembakaran bahan bakar yang digunakan pada kenderaan bermotor dan mesin-mesin industri serta akibat dari kebakaran hutan. Sedangkan gas Freon yang digunakan sebagai media pendingin pada mesin pendingin udara ruangan (Air conditioner) dan kulkas (refrigerator) diyakini sebagai penyebab utama kerusakan lapisan ozon. Semua gas ini telah menyebabkan peningkatan emisi atmosfir bumi dalam bentuk efek rumah kaca (greenhouse effect) dan pemanasan global (global warming). Data dari kantor Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1990) menunjukkan bahwa gas CO2 memainkan peranan yang cukup besar dalam hal terjadinya efek rumah kaca disamping gas beracun lainnya seperti sulfur dioksida (SO2), nitrogen monoksida (NO) dan nitrogen dioksida (NO2) serta beberapa senyawa organik seperti metana (CH4) dan Chloro Flouro Carbon (CFC).

Sebaliknya efek rumah kaca (greenhouse effect) memegang peranan penting dalam melindungi kelangsungan makhluk hidup di muka bumi. Disebut sebagai pelindung, karena gas karbondioksida (CO2), metana (CH4) dan jenis lain, termasuk uap air, dalam konsentrasi seimbang berfungsi untuk menahan energi panas matahari yang memancarkan sinarnya ke bumi, sehingga permukaannya selalu dalam kondisi hangat. Akan tetapi, Tanpa ada gas dan uap air, bisa jadi bumi beserta makhluk hidup yang menghuninya akan membeku. Namun, rumah kaca juga akan menjadi bencana bila terjadi peningkatan konsentrasi gas. Peningkatan konsentrasi ini terjadi karena penggunaan sumberdaya minyak bumi, gas alam dan batubara.

Beberapa upaya sebenarnya telah dilakukan oleh berbagai pihak untuk menanggulangi kerusakan atmosfir bumi yang semakin parah seperti upaya yang dilakukan oleh para ilmuan melalui berbagai riset untuk mendapatkan bahan bakar alternatif di masa depan yang ramah terhadap lingkungan (biodiesel) serta upaya dari kalangan praktisi seperti membuat perangkat hukum bagi menjamin kelestarian lingkungan hidup sebagai warisan kita untuk generasi yang akan datang. Upaya lainnya adalah dengan melakukan reboisasi hutan, menciptakan hutan-hutan kota, membatasi penggunaan sarana transportasi, menciptakan bahan pengganti freon serta mencegah atau meminimalisasi terjadinya kebakaran hutan.

Pada tingkat global, upaya untuk menyelamatkan lingkungan planet bumi ini terus digalakkan oleh berbagai pihak melalui forum-forum resmi antara lain adalah konvensi internasional yang telah dilaksanakan beberapa kali sejak isu kerusakan lingkungan hidup mulai memperlihatkan dampaknya terhadap kehidupan makhluk bumi. Melalui forum konvensi itulah berbagai kalangan berupaya untuk menyatukan misi bersama dalam gerakan penyelamatan lingkungan hidup secara global. Hal itu ditandai dengan telah berhasilnya ditanda tangani sebuah piagam sebagai ikrar bersama seluruh bangsa di dunia dalam rangka peduli lingkungan hidup (environmental care). Pendeklerasian satu misi bersama antara negara-negara industri (maju) dan negara-negara berkembang dituangkan dalam sebuah piagam yang disebut dengan “Kyoto Protocol”.

Melalui Kyoto Protocol antara lain ditetapkan sasaran khusus mengenai emisi gas rumah kaca (greenhouse effect gas) yang bersumber dari negara-negara industri, serta diikuti dengan sebuah mekanisme aturan yang lengkap untuk memberikan kelonggaran kepada negara-negara maju bagaimana mereka akan mengimplementasikan serta membantu usaha-usaha global ke arah pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).

Disamping itu, data dari badan kesehatan dunia (WHO) menunjukkan bahwa beberapa jenis penyakit yang menyerang manusia selama ini seperti radang saluran pernafasan, katarak, iritasi mata serta kanker kulit. Semua jenis penyakit ini disebabkan oleh akumulasi kadar gas beracun yang tak terkendali (uncontrollable) di atmosfir bumi. Oleh karena itu, sudah sewajarnyalah bagi kita untuk melakukan sesuatu demi menjaga dan memelihara kelestarian lingkungan hidup kita demi diri kita sendiri serta anak cucu kita di masa depan. Janganlah kita membiarkan kerusakan ini terus berlangsung ibarat kita membiarkan jamur tumbuh di musim hujan sehingga menjadikan kita sebagaimana ungkapan sebuah moto klasik “Hari esok mencerminkan tabiat kita hari ini.