Sabtu, 13 September 2008

Nursiah Enggan Bicara Konflik

Nursiah, duduk termenung di teras rumahnya, di Desa Lhokseuntang, Lhoksukon Aceh Utara. Dia tak suka bicara konflik. Konflik telah membuatnya kehilangan segalanya. Rumah, harta, dan orang yang paling dicintainya pun jadi korban. Fitnah orang yang membenci Ayahnya, menyebabkan dia kehilangan pusara orang yang amat dicintainya itu.

“Tidak menarik sama sekali mendengar bahasa konflik, sebab yang ada akan mengingatkan kepada luka lama saya,”katanya.

Gadis yang baru saja beranjak 18 tahun ini, lebih memilih mendengarkan musik, atau membantu ibunya di sawah, ketimbang berbicara konflik dan politik. “konflik tidak akan jauh dari politik, begitu juga sebaliknya,”katanya lagi sembari merenggangkan pinggangnya, lelah setelah seharian bergumul dengan lumpur di sawah, tidak jauh dari rumahnya itu.

Dia juga tak percaya politikus, sebab mereka hanya bisa mengumbar janji, namun kenyataannya tidak pernah ada. “Yang bisa dipercaya hanya orang tua dan guru, ”melasnya lagi.

Nursiah tinggal bersama orang tuanya, dipedalaman Lhoksukon, daerah Bukit Hagu, Kabupaten Aceh Utara. Dulu, daerah ini merupakan daerah merah, klaim serdadu saat itu. Sebelum perjanjian Helsinki, tiga tahun silam, kontak senjata antara Gerakan Aceh Merdeka dengan TNI, kerap kali terjadi di sana. Itu cerita lama, namun baru baginya.

Sebab jauh sebelum pecahnya perlawanan GAM di Aceh, ayahnya telah dahulu menjadi korban dari keganasan konflik. 1990, ayahnya difitnah, sekelompok orang datang kerumah reot itu dan membawanya pergi. Saat itu, usia Nursiah baru berumur 12 hari, setelah dilahirkan bunda tercintanya, Aminah. Dia tidak tahu apa-apa tentang konflik, walaupun secara ikatan batiniah anak dan orang tua tetap saja akan berbicara.

Namun, kini usia Nursiah, bukan lagi seorang anak kecil yang polos, tetapi sosok gadis remaja yang kekar dalam menggantikan posisi sang Ayah, mengatur kebutuhan rumah tangga. Semua harapan dan impiannya pun punah. Pendidikan, tidak pernah terbayang lagi dibenaknya, apalagi hidup bergelimpangan harta. Mampu menamatkan sekolah dasar saja sudah luar biasa baginya. Kalaupun ada kakaknya, belum juga memberinya harapan, sebab nasibnya tidak jauh beda dengan dirinya. Dalih meringankan beban keluarga, kakak satu-satunya pun terpaksa minggat dan tinggal di tempat orang, menjadi pembantu rumah tangga di Lhoksukon, jarang dia pulang kerumah.

Kendati keharmonisan hubungan masih tetap terjaga. “Kakak tinggal di tempat orang kaya di Lhoksukon, kalau dia rindu kami, sesekali dia pulang,”melasnya lagi.

Hal itu juga yang membuat Nursiah, semakin bingung. Sepeninggal Ayahnya, dia harus menggantikan posisi orang yang amat dicintainya itu. Tidak ada harta, tidak ada lahan baginya untuk berusaha, kecuali hanya mencoba mengadu nasib pada orang yang membutuhkan tenaga dan jasanya saat musim tanam dan panen padi di sawah. Lumayan, walau tidak besar pendapatan, namun cukup untuk bertahan hidup sehari-hari, katanya.

Berharap dana bantuan korban konflik pun, selalu membuatnya sakit hati. Jatah tiga juta, yang sampai ketangannya hanya Rp1,5 Juta atau lebih sedikit, setengahnya hilang entah kemana. Hal itu terjadi rutin tiap tahunnya, saat dia akan mengambil uang bantuan pemerintah tersebut. Namun, Nursiah dan ibunya tetap pasrah. Dia sadar, kalau hidup dari keluarga miskin harus rela menjadi sandaran atas permainan orang pintar dan berkuasa.

Bukan hanya di situ derita Gadis miskin ini, Ibunya Aminah, yang seharusnya mendapat kucuran dana bantuan pemerintah berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT), juga luput dari pendataan. Lagi-lagi membuatnya harus mengantungkan impian. Mungkin hanya satu cara, beban keluarga dapat terasi yakni dengan terus bekerja keras. “Allhamdulillah kami masih punya rumah kaum duhafa, bantuan pemerintah Aceh Utara, 1990-an silam, walaupun sekarang mulai dimakan rayap, namun setidaknya dapat melindungi kami saat hujan dan terik matahari. Saat kami kelelahan sehabis pulang dari sawah, setidaknya ada tempat buat rebahan. Apalagi kondisi ibu saya yang semakin tua, ”katanya.

Nursiah, tidak akan beranjak dari sana, dia setia menemani ibunya yang sudah lanjut usia itu. Dia juga mengaku lelah dengan janji pemerintah, yang berulang kali berniat akan membantunya, tetapi tidak pernah terwujud. Sekarang Nursiah, hanya berharap, konflik tidak lagi terjadi di Aceh. Stop bicara konflik, jangan lagi jadikan Aceh sebagai tempat untuk meraup keuntungan di atas penderitaan masyarakat kecil. Stop berbicara kepentingan politik dengan Aceh, karena itu telah membuatnya menderita dan kehilangan sosok sang ayah.[dedi fariadi]

Tidak ada komentar: