Sabtu, 13 September 2008

Melas Iba Wajah Pengemis di SPBU

Siang itu SPBU, di sudut Kota Lhokseuamawe, di Simpang Kuta Blang Lhokseumawe, ramai antrian kendaraan yang menunggu giliran mengisi bahan bakar minyak (BBM). Para pengendara kendaraanpun terlihat berjejer, tak ubahnya lekuk gerbong kereta api yang memanjang mengerumuni petugas pom bensin yang meniriskan bensin kepada satu, dua kendaraan yang datang menghampirinya. Petugas SPBU memang tidak terlalu sulit dalam melayani konsumen, karena angka digital di mesin pengisi bensin itu tak pernah salah memainkan nilai nominlanya, hanya saja kadang kenakalan dilakukan petugas, hanya untuk meraup keuntungan lebih. Mereka sering tidak mengembalikan angka tersebut, pada nominal terkecilnya, angka nol, seperti banyak keluhan konsumen terhadap sejumlah SPBU nakal.

Di sudut yang lain, ada pemandangan unik yang selalu kita temui setiap memasuki tempat pengisian bahan bakar kendaraan tersebut, mungkin akan menjadi deskripsi yang sangat aneh, kalau kita lukis dalam wajah Kota Lhokseumawe yang terkenal dengan Kota Petro Dollar dengan sejuta gemerlap kotanya. Hari itu, Sabtu (6/9), sepenggalan matahari belum menampakkan sinarnya, suasana SPBU yang terletak di tengah persimpangan Kota Lhokseumawe itupun masih terlihat sepi, karena masih minim aktivitas masyarakat pagi itu. Sementara dengan langkah tertatih-tatih seorang wanita paruh baya, memakai sarung yang mulai usang dimakan usia, selembar selendang menutupi ubannya yang sudah memenuhi kepalanya, terlihat melangkah memasuki SPBU dan mulai menggelar lapak mengunmpulkan rupiah dari belas kasihan orang yang mampir kesana.

Wajahnya terlihat memelas, tangannya menjulur, pertanda dia minta belas kasihan kepada sitiap orang yang datang mengisi BBM. Wanita itu mengaku Zainabon, warga Simpang Kandang, Lhokseumawe, dia juga tidak tahu pasti berapa umurnya sekarang, namun uban yang membalut kepalanya itu menandakan usianya di atas empat puluh tahun. Dia merupakan salah seorang pengemis dari sekian banyak pengemis yang selalu mangkal di sana, di SPBU Simpang Kuta Blang Lhokseumawe. Setiap hari rekan-rekan seprofesinya selalu ngepos di sana sampai menjelang azan magrip, bahkan ada dari mereka yang menggelar lapak sampai SPBU tutup.

Walau penghasilannya pas-pasan, hanya Rp20 sampai Rp30 ribu perharinya, walau terkadang rasa malu menghinggapi pikirannya, namun Zainabon terpaksa melakukan untuk membiayai keluarga dan biaya untuk berobat.

Lon teupaksa mita seudeukah, karena lon perele peng keu pajoh siuro-uro, lakoe lon han ek lee mita rezeki, lon pih peurele peng untuk meuubat ( saya terpaksa mengemis, karena saya perlu uang untuk makan sehari-hari, suami saya tidak sanggup lagi cari rezeki, saya juga perlu uang untuk berobat), kata Zainabon.

Potrek pengemis yang memadati SPBU bukan hanya terlihat di Lhokseumawe, karena di beberapa tempat lainnya di Aceh juga kita jumpai pemandangan yang sama. Diakui atau tidak keberadaan mereka turut memperburuk wajah Kota Lhokseumawe dan Aceh pada umumnya. Sebab, setiap hari keberadaan mereka kian bertambah dan sekarang sudah pada tahap meresahkan, sehingga disinyalir ada pihak yang mengkoordinir, terutama pengemis anak-anak, seperti kata seorang Warga Kuta Blang Muntazar, yang kebetulan mampir ke SPBU.

Untuk itu, pemerintah harus segara melakukan pendataan dan desentralisasi terhadap mereka, agar orang tidak memandang sinis terhadap Aceh dan Lhokseumawe nantinya.

Zainabon sebenarnya juga tidak ingin menggeluti profesinya sekarang, namun itu merupakan keterpaksaan yang harus dilakukan sebagai rutinitasnya sehari-hari, karena konflik telah merenggut segalanya. Sekarang tidak ada lagi lahan baginya untuk menggarap rupiah, kecuali hanya mengharap iba orang lain. “Saya sebanarnya malu melakukan pekerjaan ini, tetapi apa boleh buat saya tidak ada lahan lain untuk mencari uang, kecuali hanya meminta iba orang, ”katanya.

Drs. Murtadha, Kasi Penyandang Masalah Kesejahtraan Sosial Anak Korban Narkotika dan Eks Narapidana, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Bina Sosial, Aceh Utara, mengatakan saban hari jumlah pengemis terus meningkat, sehingga pihaknya akan melakukan pendataan dan desentralisasi keberadaanya untuk selanjutnya akan diberikan pembinaan.

Sementara Zainabon, mengaku tidak memperdulikan apapun yang dilakukan pemerintah, karena selama ini pemerintah tidak pernah memperdulikan keberadaannya, bahkan beberapa kali dirinya mengajukan bantuan modal usaha tidak pernah digubris dengan birokrasi yang terlalu berbelit. “Saya akan terus berdiri di sini (SPBU-red), sebab saya butuh makan dan biaya berobat di kala sakit, ”imbuhnya. [dedi fariadi]

Nursiah Enggan Bicara Konflik

Nursiah, duduk termenung di teras rumahnya, di Desa Lhokseuntang, Lhoksukon Aceh Utara. Dia tak suka bicara konflik. Konflik telah membuatnya kehilangan segalanya. Rumah, harta, dan orang yang paling dicintainya pun jadi korban. Fitnah orang yang membenci Ayahnya, menyebabkan dia kehilangan pusara orang yang amat dicintainya itu.

“Tidak menarik sama sekali mendengar bahasa konflik, sebab yang ada akan mengingatkan kepada luka lama saya,”katanya.

Gadis yang baru saja beranjak 18 tahun ini, lebih memilih mendengarkan musik, atau membantu ibunya di sawah, ketimbang berbicara konflik dan politik. “konflik tidak akan jauh dari politik, begitu juga sebaliknya,”katanya lagi sembari merenggangkan pinggangnya, lelah setelah seharian bergumul dengan lumpur di sawah, tidak jauh dari rumahnya itu.

Dia juga tak percaya politikus, sebab mereka hanya bisa mengumbar janji, namun kenyataannya tidak pernah ada. “Yang bisa dipercaya hanya orang tua dan guru, ”melasnya lagi.

Nursiah tinggal bersama orang tuanya, dipedalaman Lhoksukon, daerah Bukit Hagu, Kabupaten Aceh Utara. Dulu, daerah ini merupakan daerah merah, klaim serdadu saat itu. Sebelum perjanjian Helsinki, tiga tahun silam, kontak senjata antara Gerakan Aceh Merdeka dengan TNI, kerap kali terjadi di sana. Itu cerita lama, namun baru baginya.

Sebab jauh sebelum pecahnya perlawanan GAM di Aceh, ayahnya telah dahulu menjadi korban dari keganasan konflik. 1990, ayahnya difitnah, sekelompok orang datang kerumah reot itu dan membawanya pergi. Saat itu, usia Nursiah baru berumur 12 hari, setelah dilahirkan bunda tercintanya, Aminah. Dia tidak tahu apa-apa tentang konflik, walaupun secara ikatan batiniah anak dan orang tua tetap saja akan berbicara.

Namun, kini usia Nursiah, bukan lagi seorang anak kecil yang polos, tetapi sosok gadis remaja yang kekar dalam menggantikan posisi sang Ayah, mengatur kebutuhan rumah tangga. Semua harapan dan impiannya pun punah. Pendidikan, tidak pernah terbayang lagi dibenaknya, apalagi hidup bergelimpangan harta. Mampu menamatkan sekolah dasar saja sudah luar biasa baginya. Kalaupun ada kakaknya, belum juga memberinya harapan, sebab nasibnya tidak jauh beda dengan dirinya. Dalih meringankan beban keluarga, kakak satu-satunya pun terpaksa minggat dan tinggal di tempat orang, menjadi pembantu rumah tangga di Lhoksukon, jarang dia pulang kerumah.

Kendati keharmonisan hubungan masih tetap terjaga. “Kakak tinggal di tempat orang kaya di Lhoksukon, kalau dia rindu kami, sesekali dia pulang,”melasnya lagi.

Hal itu juga yang membuat Nursiah, semakin bingung. Sepeninggal Ayahnya, dia harus menggantikan posisi orang yang amat dicintainya itu. Tidak ada harta, tidak ada lahan baginya untuk berusaha, kecuali hanya mencoba mengadu nasib pada orang yang membutuhkan tenaga dan jasanya saat musim tanam dan panen padi di sawah. Lumayan, walau tidak besar pendapatan, namun cukup untuk bertahan hidup sehari-hari, katanya.

Berharap dana bantuan korban konflik pun, selalu membuatnya sakit hati. Jatah tiga juta, yang sampai ketangannya hanya Rp1,5 Juta atau lebih sedikit, setengahnya hilang entah kemana. Hal itu terjadi rutin tiap tahunnya, saat dia akan mengambil uang bantuan pemerintah tersebut. Namun, Nursiah dan ibunya tetap pasrah. Dia sadar, kalau hidup dari keluarga miskin harus rela menjadi sandaran atas permainan orang pintar dan berkuasa.

Bukan hanya di situ derita Gadis miskin ini, Ibunya Aminah, yang seharusnya mendapat kucuran dana bantuan pemerintah berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT), juga luput dari pendataan. Lagi-lagi membuatnya harus mengantungkan impian. Mungkin hanya satu cara, beban keluarga dapat terasi yakni dengan terus bekerja keras. “Allhamdulillah kami masih punya rumah kaum duhafa, bantuan pemerintah Aceh Utara, 1990-an silam, walaupun sekarang mulai dimakan rayap, namun setidaknya dapat melindungi kami saat hujan dan terik matahari. Saat kami kelelahan sehabis pulang dari sawah, setidaknya ada tempat buat rebahan. Apalagi kondisi ibu saya yang semakin tua, ”katanya.

Nursiah, tidak akan beranjak dari sana, dia setia menemani ibunya yang sudah lanjut usia itu. Dia juga mengaku lelah dengan janji pemerintah, yang berulang kali berniat akan membantunya, tetapi tidak pernah terwujud. Sekarang Nursiah, hanya berharap, konflik tidak lagi terjadi di Aceh. Stop bicara konflik, jangan lagi jadikan Aceh sebagai tempat untuk meraup keuntungan di atas penderitaan masyarakat kecil. Stop berbicara kepentingan politik dengan Aceh, karena itu telah membuatnya menderita dan kehilangan sosok sang ayah.[dedi fariadi]