Rabu, 14 Januari 2009

Isu ALA-ABAS Politik Aceh Bergeser

Oleh : Dedi Fariadi

Santernya tuntutan terhadap pembentukan dua privinsi baru di Aceh, yakni ALA dan ABAS belakangan ini, sudah dipastikan kedepan perpolitikan di Nanggroe Aceh Darusssalam akan bergeser drastis. Pasalnya banyak orang akan memamfaatkan momen tersebut untuk meluruskan kepentingan politik, seperti apa yang sudah dilakukan beberapa fraksi di DPR-RI. Dukungan untuk mewujudkan dua provinsi baru tersebut mulai diincar berbagai pihak yang punya kepentingan politik, namun sayangnya masyarakat Aceh tidak menyadari akan hal tersebut.

Walaupun dalam undang-undang kebebasan berdemokrasi merupakan salah satu bagian yang diperbolehkan, tetapi apa jadinya kalau kebebasan tersebut telah dimamfaatkan oleh segelintir orang untuk meluruskan kepentingan politiknya. Mungkin akan sangat naïf nasib Aceh kedepan. Sebab di satu pihak keberadaan provinsi tersebut harus diwujudkan, sedangkan di lain pihak, mereka akan mempertahankan dan menggagalkan tuntutan pembentukan dua provinsi baru tersebut dengan berbagai cara, bahkan kekerasan sekalipun mungkin akan dilakukan, walau tidak bisa dipastikan, tetapi suhu perpolitikan di Aceh sekarang mulai mengarah ke sana. Sehingga yang terjadi selanjutnya akan ada dua kubu yang saling mempertahankan prinsip. Padahal kalau kita kaji lebih jauh, hal tersebut merupakan sangat keliru terjadi, di saat Aceh sedang berbenah dan coba menyakinkan berbagai pihak, terutama bangsa Indonesia bahwa perdamaian harus terus berlangsung dan Aceh akan tetap utuh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), seperti apa yang sudah menjadi kesepakatan bersama dalam sebuah pernyataan paling bersejarah yaitu MoU Helsinki.

Sehingga ada harapan sebagaian besar masyarakat Aceh, pemerintah pusat harus benar-benar arif menyikapi segala persoalan politik yang sedang bergejolak, apalagi menjelang perhelaan pemilu 2009. Namun sebaliknya, kalau pemerintah pusat memihak pada salah satu kepentingan, dipastikan politik Aceh akan bergeser tiga ratus enam puluh derajat, bahkan dikhawatirkan akan kembali memicu konflik baru. Mengulang kaji berbagai pengalaman sejak zamannya presiden RI-I, kepercayaan masyarakat Aceh sempat memudar terhadap bangsa ini, karena keistimewaan untuk Aceh yang diharapkan saat itu tidak pernah terwujud sepenuhnya, sehingga menjadi salah satu pemicu konflik yang berkepanjangan, menelan ribuan korban jiwa, dan harta benda di bumi Serambi Mekkah. Pada kenyataan, masyarakat Aceh saat itu tidak pernah menginginkan konflik tersebut terjadi. Namun klaim egoisme politik kepentingan berbagai pihak, Aceh harus melalui masa suram hampir tiga puluh dua tahun lamanya.

Anehnya, setelah masa sulit itu terlewati, MoU Helsinki lahir, dan di tengah Aceh sedang berbenah serta mencoba membangun damai, masalah baru kembali muncul menyebabkan Aceh mulai terpecah dengan berbagai kepentingan. Lagi-lagi banyak masyarakat Aceh mengaklaim itu hanya sebagai permainan politik yang sedang diterapkan di daerah paling barat pulau Sumatera. ALA-ABAS pun mencuat menjadi isu nasional yang perintisnya mencoba menggait berbagai dukungan di DPR, bahkan berbagai pihak yang berkompeten suaranya didengar dalam pemerintahan ikut digiring sebagai pendukung, seperti lakonnya seorang pimpinan partai nasional, Megawati Soekarnoputri. Dalam sebuah diskusi bertajuk kebangsaan dalam rangka memperkuat NKRI bertema "Meneropong Masa Depan Aceh: Pembentukan Poprinsi ALA-ABAS Sebagai Solusi" yang dilaksanakan di DPP PDIP di Lenteng Agung, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu, mantan presiden RI tersebut mengutarakan bahwa dirinya mendukung pemecahan wilayah Aceh menjadi tiga provinsi yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Aceh Leuser Antara, dan Aceh Barat Selatan.

Dia bahkan lantang mengatakan bahwa dirinya sejak dulu sudah mendukung terbentuknya dua provinsi baru di Aceh. Politisi PDIP itupun mengemukakan, bahwa undang-undang memungkinkan itu diwujudkan, hanya saja usul pembentukan provinsi yang mencuat sejak 1999 itu belum terealisasi, karena terlalu dipolitisasi, katanya.

Bahkan untuk merekomendasikan usulan pembentukan Propinsi ALA dan ABAS terjadi tarik-menarik kepentingan di Komisi II DPR. Walaupun akhirnya surat rekomendasi itu bisa disampaikan kepada Ketua DPR RI Agung Laksono. Kini delapan dari 10 fraksi di DPR sudah memberi dukungan pembentukan ALA dan ABAS. Bahkan
Agung Laksono 16 Juni lalu sudah mengirim surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengenai 17 RUU tentang Pembentukan kabupaten/kota/propinsi baru di Indoensia. Dari 17 daerah pemekaran baru yang akan dibahas, lima di antaranya propinsi baru, yaitu Propinsi kalimantan Utara, Papua Tengah, Sulawesi Timur, ALA dan ABAS.
Agung berharap ke-17 RUU yang telah diajukan ke pemerintah dapat segera dibicarakan dengan DPR. Dalam kaitan ini, Presiden diharapkan pula menunjukkan menteri yang akan mewakilinya dalam rapat-rapat di DPR.

Sebaliknya banyak masyarakat Aceh hari ini menanggapi bahwa persoalan tersebut merupakan isu krursial yang harus dicari pemecahan dan solusi, agar tidak menjadi masalah yang dapat memicu konflik baru. Karena bertolak belakang dengan pernyataan Megawati, Wakil Gubernur NAD, Muhammad Nazar, pernah mengutarakan dalam sebuah wawancara media, bahwa kalau dua provinsi tersebut diwujudkan pemerintah pusat, maka dirinya akan mengundurkan diri dari kepala pemerintahan NAD. Mungkin itu dapat dijadikan telaah berfikir, bagi elit politik agar tidak terjadi konflik baru di Aceh. Sebab di satu sisi ada pihak menginginkan provinsi Aceh tetap utuh, itu akan diperjuangkan dengan berbagai cara untuk mewujudkannya, tetapi di lain pihak ada yang harapan Aceh pecah dan lahir dua provinsi baru di dalamnya.

Sehingga cara-cara yang diperankan untuk mewujudkan keinginan kedua belah pihak inipun akan selalu bertolak belakang, bahkan dikhawatirkan akan menimbulkan gejolak politik baru paska adanya damai di Aceh. Sedangkan banyak masyarakat Aceh lainnya yang berada pada posisi netral akan mencari berbagai pelindungan untuk melindungi dirinya, agar tidak terjebak dengan perang politik yang sedang dimainkan kedua belah pihak tersebut. Namun kerap kali mereka harus menjadi korban akibat keserakahan dan berbagai kepentingan para pelaku politik. Kekhawatiran banyak masyarakat Aceh hari ini dengan mencuatnya ALA-ABAS adalah terjadinya pergeseran system perpolitikan di Aceh, karena bisa saja cara-cara lama akan diadopsi kembali untuk meluruskan keinginan berbagai pihak yang berkompeten terhadap Aceh. Sedangkan elit politik lainnya akan memamfaatkan momen tersebut sebagai senjata untuk meloloskan kepentingan politik memasuki Pemilu 2009 mendatang, itu harus diwaspadai bersama.

Untuk itu, banyak masyarakat Aceh hari ini menginginkan pemerintah pusat dapat melihat berbagai polimik dan masalah tentang Aceh dengan arif dan bijak. Apalagi Aceh baru saja keluar dari konflik, musibah tsunami, dan sekarang sedang berbenah dalam alam perdamaian yang tercipta melalui suatu itikad baik pihak Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Republik Indonesia. Namun yang menjadi pertanyakan apakah kondisi hari ini harus berakhir?, jawabnya ada pada diri kita, mereka, elit politik, dan semua yang punya kepentingan dengan Aceh. Untuk itu, sebagai penutup yang harus digarisbawahi bersama dalam menyonsong masa depan Aceh yang lebih baik, adalah pemerataan pembangunan harus lebih digalakkan, agar tidak timbul kesenjangan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Dengan harapan semoga damai tetap berlanjut di Aceh.

Tidak ada komentar: